Mendaki Rinjani
Hari
yang melelahkan... Aku tertinggal dari rombongan karena kelelahan. Hari ini,
aku dan mereka mendaki Rinjani, tapi karena ini pengalaman pertamaku mendaki
gunung, aku tertinggal jauh dari mereka yang rata-rata pernah mendaki
sebelumnya. Lagipula, aku bukan teman akrab mereka. Aku hanya sosok asing yang
nekat ikut mendaki hanya berbekal seorang teman yang aku kenal, sisanya stranger. Lebih tepatnya, akulah stranger itu.
Sekarang,
disinilah aku. Ditengah-tengah bukit panjang yang curamnya, Gilaaa. Awalnya
kukira bukit populer ini adalah bukit gersang yang panasnya luar biasa,
nyatanya nggak. Panas sih, iya. Haus juga, banget! Siang bolong mendaki gimana
nggak panas? gimana nggak haus? Tapi lama-lama dingin. Entah darimana datangnya
kabut yang kemudian ikut mendaki sang bukit bersama dengan berpuluh orang
disekitarku sekarang, dan kabutnya menang, kami kalah. Ternyata, aku baru
eng-ngeuh, kecepatan kabut bisa berkilo-kilometer per-jam, aku tidak tahu itu,
ini kan pertama kalinya aku kegunung, dan tempat tinggalku daerah tropis.
Sejak
menatapnya dari bibir bukit, aku sudah geleng-geleng sendiri menyaksikan betapa
curam bukit yang sering kali ku dengar membuat orang menyesal mendaki Rinjani.
kukenalkan saja, Namanya Bukit Penyesalan, dan benar kukira, nama itu memang
cocok untuknya, meski begitu, aku tidak menyesal. Aku kesusahan, aku kelelahan,
sesekali hampir jatoh, sesekali terpeleset, lalu kenapa? Bukankah sejak awal
aku tahu resiko ini? Memang beginilah sensasi mendaki gunung! Lagipula, bukit
ini tidak sepenuhnya menjengkelkan, ia juga menawarkan adrenalin. Tidak
main-main! 3726 mdpl tingginya Rinjani dan merupakan gunung tertinggi ketiga di
Indonesia. Tapi ternyata tak seburuk yang kuduga, meski juga tak sebaik yang
aku duga.
Sekarang,
aku disini kelelahan, kehausan, keringatan. Kulihat sekitarku dan tak
kupercayai pandanganku! Bagaimana bisa para porter
itu mendaki dengan enteng meski dengan beban berat yang ada di bahu mereka. Dua
keranjang penuh yang mereka pikul dengan kayu yang seimbang di bahunya, dan
betapa malunya melihat diri sendiri membawa backpack
kecil tapi ngos-ngosan ditengah bukit penyesalan. Barangkali sebagian
rombonganku telah sampai di pelawangan, kata mereka pelawangan adalah gerbang
transit, antara naik ke puncak Rinjani, dan turun ke Segara Anak yang menjadi
gula-gulanya Rinjani, entahlah! Aku belum sampai mana-mana. Kakiku sudah
nyut-nyutan, aku masih betah duduk dibawah cemara tinggi yang kusenderi dengan
kaki selonjoran.
Aku
haus. Benar-benar haus, tapi dimana bisa nyari air? aku tertinggal rombongan.
Karena pemalu, aku juga tak bisa meminta pada orang lain, tapi EEIIITZZ!!! Hari
ini kusingkirkan Malu-ku. Ini bukan saatnya untuk itu! tegasku ke diri sendiri,
jadi akupun mendekat pada seseorang yang keliatannya lagi sendiri juga dengan
botol minuman terselip di sisi kanan kerilnya. mungkin dia juga tertinggal
rombongannya, atau malah dialah sang peninggal rombongan, SIAPA PEDULI?!
"Mas,
boleh minta airnya nggak?"
"....Ah...
Euuughhh.... gimana ya?__ Maaf banget meton!(meton : bro) airku tinggal
sedikit, dan Perjalanan masih jauh!" ditolaknya berusaha lembut. Anehnya,
aku seperti tertampar dengan kasarnya, betapa malu kurasakan. Wajahku jadi
kikuk, nyesel rasanya. Nggak lagi-lagi deh aku minta! Niatku dalam hati. Aku
bahkan tak tahu apa yang akan aku katakan lagi, aku ingin kembali memutar waktu
dua menit yang lalu. Aku bahkan terlalu canggung untuk kembali keposisiku
sebelumnya, dan Sumpah! Aku haus banget. Aku harus mulai jalan lagi! Ya, hanya
itulah yang terpikir sekarang.
"Ya
udah, aku duluan ya!" pamitku pada orang tak dikenal itu, akupun mulai
berjalan lesu, dengan saaangat pelan...
"Excuse me! May I ask your
water?"
Baru
beberapa langkah, kudengar seorang bule meminta air dibelakangku, dan aku langsung
melirik. APA AKU JUGA BISA MINTA? Tapi begitu menengok belakang, ternyata bule
itu sedang meminta pada orang yang tadi kumintai. Aku langsung menekuk
senyum,tapi sinis, dan rupanya aku terlalu meremehkan. Kupikir nasib bule itu
akan persis seperti yang aku rasakan sebelumnya, nyatanya aku salah besar, dia
memberikannya. Aku yang hampir membalik pandangan lagi dibuat melongo. Sungguh
sulit dipercaya! Dia memberikannya, Lengkap dengan senyuman dan basa basa-basi
seadanya dari keterampilan bahasa asingnya yang terdengar gagap dan gugup.
Dia
menolak memberikanku tapi dia memberikannya pada bule itu? APA-APAAN!! Dia
lebih memilih memberikannya pada orang asing daripada saudara setanah air dan
langitnya nya sendiri? ....AAAHHHH! teriakku dalam hati dengan sangat kesal.
Wajahku
berganti melankolis. Senyum sinisku sirna seketika. Aku berkasak-kusuk dalam
hati. Ingin rasanya aku mengutuki sosok tak dikenal itu, dimana rasa
nasionalismenya? tapi kemudian kulihat orang itu memandangku dengan perasaan
tak enak. Ia menunduk, tak mampu memandangku lebih lama, entah pertanda apa
sikapnya itu?
Akhirnya
aku berbalik lagi dan melanjutkan perjalanan dengan kelesuan yang
berlipat-lipat. Untuk sesaat aku mengakui, aku merasa malang. Aku terus
berjalan pelan. Sesekali berhenti untuk mengatur napas lagi, dan terus
melanjutkan mendaki. Hingga kemudian, tiba-tiba sesosok tubuh menyalipku, dekat
sekali jaraknya.
"Hai
bro!" sapanya.
Aku
menoleh. "...Oh!" gumamku singkat. Keras aku berjuang untuk
memproduksi raut ramah.
"Mmm...
Soal tadi, maaf ya?" ucapnya mensejajarkan langkah denganku, ia langsung
ke poin-nya.
".......Mmm."
jawabku singkat dengan anggukkan dan senyum yang masih dipaksakan ramah.
"Jangan
salah paham! jika tadi yang meminta sesama Indonesia, aku tidak akan
memberikannya, tak peduli darimana asalnya, dan anak siapa dia. Tapi, karena
yang meminta adalah bule, aku tidak kuasa menolaknya." tuturnya menggeleng
kecil. Tapi, apa poinnya? Terserah dia saja! Dan diapun melanjutkan. "Aku
juga kehausan dan ingin mempertahankan airku, tapi aku tidak bisa.
Bagaimanapun, kita harus memberikan kesan yang baik pada orang luar, agar
mereka memandang negara kita dan orang-orang kita lebih baik lagi."
tegasnya. "Nama baik negara adalah kebanggaan rakyatnya." susulnya
menutup penjelasannya.
Sekilas,
aku terdiam meresapi. Lalu aku memaksakan senyum lagi, tapi kurasakan ada yang
kurang dari penjesan itu, entah ia sadar atau tidak. sesaat aku membuang
pandangan dengan senyuman miris yang ingin kusembunyikan darinya. Aku ingin
mengatakan apa yang aku pikirkan, tapi, kutahan. Bagaimanapun pemikirannya
tidaklah salah. hanya saja......???
"Aku
duluan ya? sekali lagi, maaf!" sosok itu berpamitan, dan aku hanya bisa
mengangguk dengan senyuman yang setengah-setengah. Jujur, masih kurang ikhlas.
Setelah
beristirahat dipelawangan, malam itu aku dan rombonganku langsung beranjak
kepuncak Rinjani. Setengah dari kami memilih berdiam di tenda untuk esoknya
menuju danau Segara Anak yang luar biasa cantiknya. Ditambah lagi pesona Aik
Kalak disampingnya, yaitu sungai dengan air terjun-air terjun kecil yang
merupakan tempat pemandian air panas alami disana. Mereka harus berpuas hanya
dengan itu, dan memang sudah cukup memuaskan jika dipikir-pikir. Kalau bisa
puas disana, kenapa nggak? Ngapain harus bangun jam 2 pagi dan mendaki lagi
hanya untuk momen sunrise yang katanya, lebih memuaskan dilihat dari puncak?
Bahkan bisa melihat panorama pulau selombok hingga pulau-pulau sekitarnya,
tapi, dengan resiko tubuh menggigil dingin dan hilang rasa. NEKAT!! DASAR
BODOH! Tapi nyatanya aku memilih itu.
Aku
nekat menerobos petang dengan yang lainnya hanya bermodal lampu senter dan
bekal seadanya. Kukira aku penyuka tantangan, cuaca sedingin digunung yang
belum pernah kurasakan tak mengecilkan semangatku, bahkan puncak gunung yang
katanya licin berpasir tak sedikit juga membuatku berpikir ulang. Ya, sesekali
sih ngeri, tapi aku sudah berniat, dan aku sedang dibakar semangat,
hasilnya.......
KINI AKU
MERINGKUK...
Dingiiiiiiin!
Tubuhku menggigil. Aku kena karma, entah siapa yang kusakiti, tapi aku belum
menyerah. Susah payah aku mendaki sampai sini, aku tidak bisa kembali dan
menjadi pecundang yang terlelap ditenda seperti yang lainnya. Mereka bilang tak
kuat dingin, tak kuat jalan. Aku tidak ingin alasan-alasan itu! Bahkan tak
bersedia mencari alasan. Lagipula disini dingin, disana dingin. Walaupun disini
berlipat kali tentunya. Kulawan semua rasa yang mengganjal, dan kukatakan pada
diri sendiri 'aku harus sampai puncak!' aku tahu melelahkan, aku tahu sangat
dingin, aku tahu berbahaya, bukankah aku sudah merasakannya?
Kini
dengan pakaian yang berlapis-lapis tak kalah dari kue lapis sekalipun, aku
membara lagi. Kapan lagi aku bisa kemari? belum tentu ada kesempatan lagi, dan
akhirnya aku menerjang udara yang menusuk-nusuk. Aku tidak ingin kalah! Kalau dingin
ya dingin sekalian! Gertakku. Dan......
AKU KIAN
MENGGIGIL.
Terlalu
dingin. Bibirku menghitam dan kering. Aku tidak tahan, tapi aku harus
bertanggung jawab untuk kenekatanku. Aku harus tetap berjalan. Aku sudah
tertinggal dari rombongan. Aku terus menuntun kaki yang mulai nyut-nyut-an
lagi. Ingin rasanya aku berlari saja untuk meminimalisir rasa dinginku,
kurasakan ia semakin menusuk setiap aku mulai mengistirahatkan langkah. Aku
harus tetap bergerak! Aku harus tetap bergerak! Berulang kali kukatakan itu,
sampai akhirnya, aku menyerah juga.
Ini
terlalu dingin. Aku tidak bisa berjalan terus. Dan...! sebuah bohlam tiba-tiba
menyala diatas kepalaku. Oiya! Bodoh sekali! aku lupa dengan isi backpackku.
Benar juga kata orang, keputusasaan dapat mengiring kita pada dua hal : solusi,
atau bunuh diri. Aku lempar pilihan kedua jauh-jauh, karena itu tindakan paling
idiot dalam kehidupan, dan aku menemukan solusinya.
Dengan
sisa tenaga, aku gegas membuka backpackku.
Kukeluarkan isinya, kompor portable, dua sachet
kopi dan dua gelas plastik, bahkan ada camilan, tapi camilan sedang tidak
kubutuhkan. Aku hanya ingin membuat kopi. Lalu kukeluarkan juga wajan, dan
sebuah botol air minum tentunya. Aku selamat. bertahanlah tubuh! Kita bisa
melaluinya!
Segera
aku mencari posisi yang enak. Terimakasih kompor! jasamu takkan kulupa. Aku
menghangatkan tangan disela memasak air. Untuk sejenak, aku merasa sedikit
hangat. Aku melindungi nyala kompor dari angin jahat yang meniupnya kencang.
Brrrr! Dingiiin! Sialan angin ini! membuatku tak sabar untuk segera menenggak
kopiku. Dan begitu matang airnya, gegas tanganku meracik kopi.
"Hi Bro! May I
ask your coffee?"
Seorang bule tiba-tiba muncul dan meminta kopiku. Tadinya ingin kuminum
dua-duanya, satu pasti tidak akan cukup. Tapi melihat bule itu, aku tidak tega.
Aku mengerti sekali apa yang dia rasakan. Akhirnya gelas pertama kuberikan
padanya, dan ditengah-tengah itu, sesosok orang muncul lagi. Tubuhnya tak kalah
menggigil. Wajahnya pucat. Tidak heran, cuaca digunung tidak pilih kasih, semua
orang yang nekat ke puncak, wajahnya merata. Tapi aku sedikit terkejut, ia
adalah sosok orang itu, aku mengingatnya. Remang pagi sudah cukup terang untuk
melihat wajah semua orang. Dia adalah orang yang kumintai air minum siang itu.
Dan malah memberikannya pada seorang bule demi nama baik negara. Kini, Ia
melihatku dan sang bule bersiap menyeruput segelas kopi kami masing-masing.
Tiba-tiba
aku mengingat kejadian siang itu. 'karma' pada apa yang kini terjadi, mungkin
hanya sebatas opini. Sosok itu enggan menyapa, barangkali, ia ingat apa yang
dia lakukan. Dia hanya bisa melirik saat aku dan bule itu menghangatkan diri
dengan kopi, sedang ia kedinginan, dan sepertinya terlalu malu untuk bergabung,
aku juga tidak menawarkannya, bukannya aku dendam, aku hanya tidak punya
persediaan lagi. Hatiku jadi bingung tak menentu. Bagaimana mungkin aku tak kasihan
pada wajah itu? Ia sungguh pucat. Aku serba salah, bimbang sesaat. Kukatakan
pada diriku, karma tak pernah kita ketahui hukumnya. Ini hanya sebagian dari proses
alam yang berbahasa untuk mengingatkan manusia akan tindakkannya. Dan....
Setelah
melihatnya berjalan melewati aku dan sang bule, aku berdiri.
"Bro!"
panggilku.
Ia
menengok. "Yaa?" jawabnya pendek.
Aku
mendekatinya, dan... "Minumlah! Ini dingin sekali."
Aku
memberikannya kopiku. dan enggan dia untuk menerima. Ia sempat ragu, kulihat
matanya berkaca menatapku. Ia meraih kopi itu dari genggamanku dan tak bisa
berkata-kata.
Aku
tidak tahu apa pendapat orang akan tindakanku itu, tapi aku ikhlas tanpa perlu
merasa sok heroik. Aku tahu aku bodoh. Bagaimana mungkin aku mengorbankan diri
untuk orang lain hanya karena rasa simpati? Bukankah aku juga kedinginan?
Baiklah! Selanjutnya akan kutanggung resiko tindakan sok heroik itu, dan
anehnya, rasa hangat seolah keluar dari dalam dadaku.
"Kenapa
kau memberiku kopimu? kau tidak dendam padaku?" tanyanya.
"Jujur...
tadinya iya. Tapi setelah aku pikirkan lagi, apa yang kau katakan ada benarnya
juga, kita memang harus memberi kesan yang baik pada orang luar. Dengan begitu
mereka akan lebih menghargai kita."
"Tapi
aku bukan orang luar."
Aku
terseyum. "Kau telah melupakan satu hal kawan. bagiku, sebelum menolong
orang luar, kau harus menolong orang yang paling dekat denganmu terlebih
dahulu. Begitulah aku memahami rasa kemanusiaan." jawabku. "Apa
gunanya namamu baik jika saudaramu terlantar? Jauh sebelum nama baikmu kepada
orang diluar sana, ciptakan nama baikmu dinegaramu terlebih dahulu, karena
tidak ada gunanya namamu baik, jika orang-orang disekitarmu tidak menghormatimu.
Kita ini Indonesia, Kita berharga."
".......minumlah
kopimu" ia menyodorkan gelas kopi itu kembali padaku.
"Kau
saja. Tadi aku sudah menghangatkan tubuh pas masak air"
"Men,Thank you so much. I’ll
go first, bye"
bule itu menyela ditengah kami.
"Okay! Good luck!" jawabku. Dan bule itupun pergi.
tiba-tiba
sosok orang itu mendekat kearah sang bule, Aku tidak tahu apa yang
diinginkannya. Dia terlihat kesusahan menjelaskan pada bule itu apa yang ingin
dikatakannya, Sampai akhirnya, aku melihat bule itu memberinya bekas gelas kopi
yang tadi dipakainya. Bule itu tidak meninggalkan sampah seenaknya rupanya, dia
membawanya. Tapi apa yang dilakukan orang itu?
Ia
kembali padaku setelah berpamitan dengan sang bule, dan ia memberiku gelas
kosong yang tadi dimintanya. Aku masih heran. Dan tak kuduga ternyata dia
membagi kopi yang aku berikan untuknya.
"Kita
ini Indonesia. Kita berharga." Ucapnya mengembalikan kalimatku. Kutatap
kesungguhannya, dan kamipun tertawa kecil bersama. Sejenak, kulihat diseberang
sana, bule yang tadi, tersenyum melihat kami, dan kubalas senyuman itu.
"I love you Rinjaniiiii!" Teriakku.
"I love you Indonesiaaaa!!!!" teriak
orang itu disebelahku, dan ia mengeluarkan sesuatu dari kerilnya, sangsaka
merah putih. Dia meminta seseorang bule untuk memotret, dan kemudian memintaku
memegang bendera bersamanya. Hari itu entah kenapa sungguh patriotis kurasakan,
dan inilah puncaknya. Aku dan orang itu membentangkan bendera seraya tersenyum
didepan kamera.
"Indonesia
kita berharga" ucapnya pelan.
"Indonesia,
kita berharga." Sambutku melengkapi. Dan kami tersenyum satu sama lain.
Unsur Intrinsik
a.
Tema: Nasionalisme
b.
Amanat: Mungkin
memberikan kesan baik kepada orang lain penting, tetapi jangan lupa untuk
memberikan kesan baik kepada orang terdekat lebih dahulu.
c.
Penokohan dan
Penggambaran Watak :
·
Aku :Baik, Penolong, Selalu
mengeluh, Berani.
·
Pendaki :Pelit, Mementingkan kesan daripada
teman.
·
Bule :Ramah, peduli lingkungan.
d.
Latar:
·
Waktu : Siang, Petang, Pagi.
·
Tempat : Gunung Rinjani, Indonesia, Bukit,
Bibir bukit, Pelawangan, Puncak.
·
Suasana : Dingin, Panas, Gersang, Senang,
Menyebalkan, Hangat.
No comments:
Post a Comment